Eksperimen Tuchel Menghasilkan Hasil Manis Untuk Inggris. Pada 13 November 2025, Thomas Tuchel membuktikan bahwa sentuhan Jermannya bisa manis bagi sepak bola Inggris. Kemenangan 2-0 atas Serbia di Wembley jadi pesta bagi Three Lions, dengan gol Phil Foden dan kombinasi apik Jude Bellingham serta Eberechi Eze dari bangku cadangan. Meski Tuchel sebelumnya bilang tak ada waktu eksperimen di kualifikasi Piala Dunia 2026, rotasi skuad dan keberaniannya pakai pemain muda justru hasilkan performa gemilang. Inggris kini finis lolos langsung sebagai juara Grup E UEFA, dengan 25 poin dari 10 laga—rekor tak terkalahkan di bawah pelatih baru ini. Di usia 52 tahun, Tuchel yang baru ambil alih Juni lalu, ubah Azzurri jadi tim adaptif dan ganas. Ini bukan kebetulan; eksperimennya di latihan dan laga uji coba mulai berbuah. Dengan WC 2026 di depan mata, kemenangan ini beri angin segar—siapa sangka, pelatih Bayern dan Chelsea kini jadi harapan baru Wembley? Mari kita lihat bagaimana eksperimen Tuchel bikin Inggris tersenyum lebar. BERITA BOLA
Rotasi Skuad yang Cerdas: Dari Cadangan ke Pahlawan: Eksperimen Tuchel Menghasilkan Hasil Manis Untuk Inggris
Tuchel tak segan mainkan rotasi sejak awal, meski tekanan kualifikasi tinggi. Lawan Serbia, ia istirahatkan Harry Kane dan Bukayo Saka—duo andalan yang capek usai musim klub—dan beri kesempatan Morgan Rogers dari Aston Villa sebagai false nine. Pemain 22 tahun itu, yang jarang main di level internasional, ciptakan peluang awal dengan dribel lincah, bikin pertahanan Serbia kewalahan. “Rotasi bukan risiko, tapi investasi,” kata Tuchel pasca-laga, sambil tersenyum tipis. Hasilnya? Inggris kuasai bola 65 persen tanpa kebobolan, dengan pressing tinggi yang hancurkan serangan balik lawan.
Ini bagian dari eksperimen Tuchel sejak Agustus: ia bagi skuad jadi dua grup latihan, satu fokus taktik defensif, satu lagi serangan kreatif. Jude Bellingham, yang biasa gelandang box-to-box, kini sering geser ke winger kanan—peran baru yang hasilkan assist krusial untuk gol Eze di menit 72. Statistik tak bohong: di lima laga terakhir, pemain rotasi sumbang 60 persen gol Inggris. Serbia, yang datang dengan Aleksandar Mitrovic sebagai ancaman, tak sanggup hadapi fleksibilitas ini—mereka cuma tembak tiga kali on target. Eksperimen rotasi ini tak hanya jaga kesegaran, tapi juga bangun kedalaman skuad, sesuatu yang hilang di era pendahulu. Tuchel, dengan pengalaman juara Liga Champions 2021, tahu betul: tim juara butuh 25 pemain siap tempur, bukan 11 bintang saja.
Debutan Muda yang Menyemburkan Bintang Baru: Eksperimen Tuchel Menghasilkan Hasil Manis Untuk Inggris
Eksperimen Tuchel paling manis ada di keberaniannya debutkan talenta muda. Nico O’Reilly, gelandang Manchester City berusia 19 tahun, dapat menit perdana di babak kedua lawan Serbia—dan langsung tunjukkan visi passing yang matang, dengan akurasi 92 persen dari 13 umpan. Ia kombinasikan dengan Bellingham untuk gol kedua, ciptakan peluang yang bikin fans Wembley bernyanyi kencang. Tuchel puji habis: “Nico ingatkan saya pada masa muda saya— lapar dan tak takut salah.” Ini kelanjutan dari eksperimen September, saat Cole Palmer dan Noni Madueke debut di laga uji coba lawan Jerman, hasilkan clean sheet plus dua gol.
Di kualifikasi, Tuchel sudah pakai enam debutan, termasuk Jarrad Branthwaite di bek tengah yang solid lawan Albania. Hasilnya? Inggris catatkan enam clean sheet dari 10 laga, rekor terbaik sejak 2010. Serbia takluk mudah karena lini tengah muda Inggris—kombinasi Declan Rice dan O’Reilly—hentikan Mitrovic sepenuhnya. Eksperimen ini bukan asal tebak; Tuchel analisis data scouting mendalam, pilih pemain dengan profil “high potential, low risk”. Di usia rata-rata skuad 25 tahun, Inggris kini campur veteran seperti Kyle Walker dengan darah muda, bikin tim lebih dinamis. Kemenangan ini bukti: Tuchel tak cuma bangun tim sekarang, tapi juga masa depan WC 2026, di mana stamina dan kreativitas jadi kunci.
Adaptasi Taktis: Marginal Gains yang Mengubah Segalanya
Tuchel bawa filosofi “marginal gains” dari pengalaman Chelsea, dan itu terlihat jelas di laga Serbia. Eksperimen taktisnya: geser formasi dari 4-2-3-1 klasik ke 3-4-2-1 hybrid, dengan wing-back Trent Alexander-Arnold maju agresif. Hasil? Foden cetak gol pembuka dari umpan silang Alexander-Arnold di menit 28, manfaatkan ruang lebar yang Serbia abaikan. Tuchel tambah elemen unik: latihan dengan sepatu merah fluorescent untuk tingkatkan fokus visual—pemain bilang itu bantu mereka lihat pola lebih cepat. “Detail kecil ubah pertandingan besar,” ujarnya, sambil tunjuk layar tablet pasca-laga.
Di kualifikasi, adaptasi ini hasilkan 22 gol dari 10 laga, naik 30 persen dari era sebelumnya. Lawan Serbia, pressing trigger Tuchel—mulai dari menit ke-10—paksa lawan salah oper, sumbang 12 turnover. Eksperimen ini lahir dari analisis: Tuchel pelajari kelemahan Grup E, seperti kecepatan rendah Serbia, lalu sesuaikan. Bellingham dan Eze, yang masuk babak kedua, langsung kombinasikan untuk gol kedua—bukti substitusi Tuchel tepat sasaran. Dengan lolos langsung, Inggris kini punya enam bulan persiapan penuh untuk WC, di mana eksperimen seperti ini bisa jadi senjata rahasia lawan tuan rumah Amerika. Tuchel tak janji trofi, tapi hasil manis ini bilang: ia sedang bangun mesin yang siap raih bintang kedua.
Kesimpulan
Eksperimen Thomas Tuchel bawa kemenangan manis bagi Inggris, ubah kualifikasi dari rutinitas jadi pernyataan kuat. Dari rotasi cerdas hingga debutan menyilaukan dan adaptasi taktis halus, Three Lions kini lolos ke Piala Dunia 2026 dengan gaya yang segar dan ganas. Di Wembley malam itu, sorak fans bukan cuma untuk gol Foden atau Eze, tapi untuk visi pelatih yang berani. Tuchel, yang sempat ragu waktu eksperimen di awal, kini punya skuad percaya diri—campuran muda dan veteran siap taklukkan Amerika Utara. Ini awal cerita indah: Inggris tak lagi sekadar harapan, tapi ancaman nyata. Dengan enam bulan lagi, Tuchel punya waktu polesan akhir—dan jika hasil manis ini berlanjut, trofi 1966 bisa punya saudara. Fans Inggris tersenyum lebar; sepak bola mereka kembali menyenangkan.
